Melihat potensi indonesia yang melimpah baik ditinjau dari segi manusia sebagai sumber tenaga ataupun kekayaan alamnya, tak mustahil negara indonesia yang relatif masih muda dalam waktu dekat akan berkembang pesat semua itu akan terwujud apabila manusia-manusianya mempunyai keterampilan yang selaras dengan habitat di mana mereka berada, sehingga dapat diharapkan mampu mengolah semua sumber potensi yang ada. Untuk itu masyarakat terutama masyarakat desa perlu dikembangkan pengertian-pengertian mereka yang menyangkut pola pikir, baik dalam kehidupan maupun penghidupannya. Kehidupan menyangkut sifat sosiokultural dalam hal kebudayaan, keagamaan serta lain bentuk kejiwaan yang berkaitan dengan budi akal dan daya manusia. Sedang penghidupan meliputi swadaya sosial ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di bidang sandang, tangan, dan perumahan. Akhirnya terjadi usaha ke arah perbaikan dalam hal kesehatan dan pendidikan.
Arti pendidikan di sini tidak hanya sekedar ada tidaknya sekolah, tetapi berkaitan dengan seluruh kehidupan dan penghidupan manusia sepanjang hidupnya sejak dilahirkan sampai ke liang kubur. Kaitan pendidikan harus multi kompleks dengan seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakatnya, menyangkut kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya bagi bangsa dan umat manusia.
Sedangkan mayoritas penduduk indonesia hidup di desa dengan kelompok masyarakat yang masih terikat erat oleh tata cara hidup dengan segala adat istiadatnya. Usaha pendidikan kemasyarakatan dan pembangunan berkaitan erat dengan lainnya dalam satu forum hidup berkebudayaan, sehingga jelas ada hubungan antara masyarakat desa dengan kebudayaan ke arah pembangunan baik berbentuk industrialisasi maupun agraris.
Mengingat negara indonesia terdiri dari desa-desa yang mempunyai berbagai ragam kekayaan (khususnya di bidang pertanian) dan campur tangan manusianya pun berbeda-beda, maka usaha pembangunan agraris haruslah diutamakan sebelum melangkah ke pembangunan industrialisasi hasil-hasil pertanian.
Akselerasi pembangunan ini, akan tercapai jika ada katalisatornya yakni pendidikan kedesaan. Dalam hal ini manusia yang akan dijadikan objek maupun subjek sedangkan desa secara fisik merupakan sarana bagi pembinaan pembangunan. Bahkan diharapkan pendidikan kedesaan dapat menjadikan satu sistem upaya untuk lebih membudayakan masyarakat desa yang sifatnya mengejar keterbelakangan dan mengatasi hambatan-hambatan serta meningkatkan nilai budaya yang positif ke arah kemajuan.
Kemudian di akhir tahun 50-an Menteri P & K Bapak Sarino Mangunpranoto, Ketua Dewantara Foundation mencari corak baru dalam pendidikan yang selaras dengan keadaan negara agraris dan rencana pembangunan republik indonesia. Hal tersebut di atas didorong oleh adanya kenyataan bahwa:
- Keinginan para pelajar untuk menjadi pegawai, sesuai tradisi bahwa jabatan pegawai adalah terhormat, dapat menjamin hidup dan memberi kebahagiaan. Tanpa menyadari hal ini hanyalah cocok di alam penjajahan, karena pada waktu itu peranan dan nasib pegawai diistimewakan sebagai pembantu penjajahan. Keinginan semacam ini perlu dicegah.
- Pandangan rendah pada pekerjaan tangan (handicraft), karena hanyalah cocok untuk pekerja kasar/buruh. Pandangan semacam ini harus diubah.
- Keinginan hidup di kota besar yang penuh dengan sejuta harapan, yang pada hakekatnya hanya impian belaka.
- Kurangnya minat masuk sekolah kejuruan dan mereka berharap dengan memasuki sekolah umum dapat melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi, tanpa memandang:
a) Kecerdasan mereka tidak memungkinkan untuk belajar di perguruan tinggi.
b) Tingkat ekonomi orang tua.
- Kurikulum sekolah kurang memperhatikan segi fungsional praktis tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat (life integrated) serta kurangnya pendidikan kepribadian.
Dengan sistem pendidikan dan anggapan masyarakat seperti itu mengakibatkan:
a) Banyak mahasiswa drop outs, karena intelegensi mereka kurang mampu atau terbatasnya biaya.
b) Banyak pemuda yang tidak mempunyai skill/keterampilan.
c) Banyak lulusan masih menggantungkan pada pekerjaan yang sudah ada, karena tidak ada keberanian untuk mandiri sesuai dengan disiplin ilmu yang pernah diperoleh.
Secara kebetulan Sarino Mangunpranoto bertemu kepala inspektur S.G.A. Pusat Bapak Sutiman Tjokrowardojo yang juga tidak puas dengan keadaan pendidikan pada waktu itu. Ia menceritakan pengalamannya, bahwa ada lulusan S.G.A. yang tidak mau ditempatkan di desa, padahal S.G.A. merupakan salah satu wadah untuk menyiapkan calon-calon guru yang sesuai dengan kehidupan masyarakatnya yakni masyarakat pertanian. Diperlukan pula latihan dan pengalaman di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan pekerjaan tangan industri kecil, sehingga unsur-unsur pertanian tersebut dipandang perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum S.G.A.
Kemudian keduanya bersemangat memikirkan tipe sekolah baru yang menghasilkan:
- Calon warga negara produsen:
- Berani hidup mandiri/berwiraswasta
- Selalu aktif berbakti dalam pembangunan masyarakat dan negara.
Sesuai dengan kondisi negara kita sebagai negara agraris maka kurikulum harus terdiri dari pengetahuan dan kecakapan praktis di bidang:
a. Produksi: pertanian, peternakan, perikanan.
b. Pengolahan hasil.
c. Pengusahaan dan distribusi (marketing).
d. Pelaksanaan pembangunan.
Dan untuk sementara nama tipe sekolah baru tersebut dipilih “Farming.” Kata istilah “Farming” (bahasa Inggris) berasal dari kata “Farm” yang arti harafiahnya adalah tanah pertanian yang luas dengan seorang pemiliknya. Namun kata “Farm” dalam “Sekolah Farming Menengah Atas” diartikan secara filosofis yang bermakna desa, manusia desa dan kehidupan serta penghidupannya. Pada bulan September 1961 di ungaran Kabupaten Semarang didirikan Sekolah Farming oleh Yayasan Dewantara yang setahun sebelumnya di Kota Semarang berdiri Akademi Farming. Selanjutnya Sekolah Farming menjalar ke lain daerah di Jawa Tengah dan penyelenggaraannya oleh berbagai macam yayasan dari golongan Katolik, Muhammadiyah, maupun Pemerintah Daerah Tingkat 2. Ciri khas sekolah farming meliputi:
- Tingkat.
Setingkat dengan Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas dengan nama Sekolah Farming Menengah Atas disingkat S.F.M.A. - Tujuan.
Mendidik generasi muda agar mampu berdiri sendiri dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, serta merangsang dan mendorong masyarakatnya untuk hidup lebih maju. - Kurikulum
Kurikulum berorientasi pada kehidupan nyata masyarakat pedesaan. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat indonesia hidup berkehidupan dan berpenghidupan di daerah pedesaan. Kurikulum diharapkan dapat membekali siswa dengan keterampilan untuk hidup dan berkembang di daerah. - Proses belajar-mengajar.
Kegiatan belajar-mengajar diusahakan sejauh mungkin berintegrasi dengan kehidupan di pedesaan. Segala pengetahuan dan keterampilan diberikan sejauh mungkin dengan cara menghayati dan mengamalkan ke dalam kehidupan yang nyata dalam masyarakat. - Hubungan antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, yang bersifat kekeluargaan. Kontak dan interaksi diusahakan seekstensif dan seintensif mungkin baik di dalam maupun di luar kelas.
Guru Senior SMK Suwakul Ungaran
Supeno, B.Sc.